
Invasive Alien Species (IAS) dapat berasal dari tumbuhan maupun hewan. IAS ditengarai menjadi salah satu faktor ancaman bagi keberlangsungan keanekaragaman hayati alamiah. Balai Konservasi Tumbuhan (BKT) Kebun Raya Cibodas (KRC) yang salah satu fungsinya adalah mengkonservasi tumbuhan dataran tinggi basah (konservasi Ex-Situ) Indonesia dalam bidang kerjanya dapat melakukan penelitian pengelolaan IAS khususnya pada tumbuhan. Dalam pembahasan materi IAS ini, penulis bersama Decky Indrawan Junaedi, Ph.D sebagai nara sumber, telah membagi bahasan menjadi tiga bagian utama. Materi pertama dan ke dua sudah dipublikasikan di akun official medsos Kebun Raya Cibodas sebelumnya.
Materi pertama membahas tentang pengenalan IAS, materi kedua tentang proses tumbuhan eksotik menjadi IAS. Kini tiba saatnya kami akan membahas materi bagian ketiga yang juga merupakan materi terakhir, yaitu tentang opsi pengelolaan IAS.
Pada prinsipnya pengelolaan IAS perlu mempertimbangkan hal berikut:
Teknik pengelolaan harus disesuaikan dengan kondisi populasi IAS yang akan dikelola.
Pemilihan teknik pengelolaan harus berdampak minimal terhadap ekosistem yang dikelola IAS-nya.
Pengelolaan IAS juga perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber daya (waktu, SDM, dana dll.) yang dapat digunakan untuk mengelola IAS tersebut.
?Dibagian ketiga ini kita membahas bagaimana caranya mengelolaan jenis IAS terutama untuk tumbuhan. Pengelolaan IAS dilakukan berdasarkan kondisi dari tahapan dan jenis invasive-nya itu sendiri. Pengelolaannya dibagi menjadi empat opsi, diantaranya Do Nothing, Eradication, Bio Control dan yang terakhir adalah Containment,? ujar Decky.
Peneliti dari Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, ini menjabarkan bahwa, opsi pertama yaitu: ?Do Nothing? atau tidak dilakukan pengelolaan apa-apa, opsi ini dipilih untuk kondisi/jenis IAS yang keberadaannya diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Berdasarkan pengamatan pada jenis dan kondisinya, potensi invasive-nya dianggap rendah. Artinya ketika suatu jenis tanaman itu terintroduksi bahkan sampai pada tahapan ternaturalisasi, ternyata dianggap tidak memiliki potensi untuk menjadi invasive yang negatif. Menurutnya, alasan yang dipertimbangkan adalah apabila dilakukan pengelolaan untuk jenis invasive dengan jenis dan kondisi ini, biaya yang dibutuhkan terlalu besar bila dibandingkan dengan output yang dihasilkan (tidak seimbang).
Opsi yang kedua yang dipaparkannya adalah ?Eradication? (eradikasi) atau pemusnahan secara total semua individu eksotik yang ada di suatu habitat. Pengelolaan ini dikatakannya akan cocok dilakukan untuk jenis-jenis eksotik yang baru berada pada tahap awal proses invasi, minimal baru pada tahap introduksi atau naturalisasi.
?Alasan dilakukan pemusnahan secara total suatu jenis eksotik dari ekosistem alami yang diinvasinya, karena memiliki risiko biaya yang tidak terlalu besar dan effort (upaya) yang dilakukan tidak terlalu banyak, baik perhitungan dari sumber daya manusia ataupun waktu. Opsi ini juga akan sangat relevan untuk jenis-jenis eksotik yang mempunyai potensi invasive yang tinggi, sehingga opsi pengelolaan secara eradikasi dapat meminimalisir risiko negatif dari suatu jenis eksotik yang ditengarai akan menjadi invasive,? imbuhnya.
Kemudian Decky menjelaskan tentang kemungkinan menggunakan opsi yang ketiga, yaitu dengan penggunaan agen pengendali hayati atau biasa disebut dengan ?Bio Control?. Menurutnya, opsi ini dilakukan apabila ada suatu tumbuhan eksotik yang didatangkan ke Indonesia yang menjadi invasive yang berpotensi tidak terkendali pada habitat barunya saat ini, namun diketahui bahwa tumbuhan eksotik tersebut ternyata memiliki musuh alami di habitat alami/asli/asalnya yang dapat berperan sebagai pengendali/penyeimbangnya. Dalam prosesnya, musuh alami dimaksud, didatangkan ke Indonesia lalu disebarkan ke habitat-habitat eksotik invasive yang dirasa akan mengganggu ekosistem yang ada.
?Proses bio control tetap memiliki kelemahan, yaitu dalam tahapannya proses ini memerlukan waktu yang agak lama dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, kita juga tidak bisa sembarangan mendatangkan organisme baru yang menjadi musuh alami dari tanaman eksotik yang menjadi invasive tersebut ke Indonesia. Alasannya adalah karena tanaman ini juga merupakan suatu jenis eksotik, sehingga bila tidak terkendali akan memiliki potensi risiko yang dapat memberikan dampak negatif untuk ekosistem tumbuhan asli di Indonesia atau ekosistem lain yang terinvasi,? papar Decky memberikan penjelasan.
Di akhir wawancara, peneliti ini pun menerangkan tentang ?Containment? yang menjadi opsi keempat dalam pengelolaan IAS. Opsi ini didefinisikan sebagai pengendalian populasi dari jenis-jenis tumbuhan eksotik yang telah menjadi invasive untuk tetap berada pada jumlah tertentu yang dianggap tidak akan memberikan dampak yang tidak terlalu besar terhadap ekosistem maupun manusia secara umum dari segi dampak sosial atau ekonominya.
?Opsi ini dilakukan biasanya pada jenis-jenis eksotik yang sudah menjadi invasive atau sedikit lagi menjadi invasive, dengan alasan bila ditengarai bahwa opsi Do Nothing, Eradication, dan Bio Control bukan merupakan opsi yang relevan atau realistis untuk jenis dan kondisi yang ada,? pungkasnya.
Sebagai tambahan informasi adapun jenis pengelolaan IAS berdasarkan kegiatannya terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
Perlakuan fisik. Termasuk didalamnya manual removal dan penggunaan alat ringan maupun berat. Perlakuan ini dapat dilakukan untuk opsi pengelolaan Eradication dan containment.
Perlakuan kimia. Termasuk di dalamnya penggunaan herbisida sintetis maupun organik dan perlakuan kimiawi lainnya dengan tujuan eradication atau containment.
Perlakuan biologis. Perlakuan ini menggunakan agen hayati/musuh alami dari jenis eksotik IAS yang dikelola dalam opsi kegiatan bio-control.
Selanjutnya, saya ingin menyampaikan resume materi pertama dan kedua, untuk mengingat kembali bahasan sebelumnya. Pada bagian pertama bahasan IAS lebih difokuskan kepada pengenalan. Diterangkan bahwa IAS merupakan suatu jenis tumbuhan eksotik yang keberadaan/kedatangannya dapat menimbulkan dampak negatif pada ekosistem alami yang disinggahinya. Untuk itu, perlu dikendalikan agar dapat dimaksimalkan potensi pemanfaatan (dalam rangka pengelolaan) dan diminimalisir potensi negatifnya. Karena bila tidak dikendalikan, IAS dapat menjadi salah satu ancaman yang berakibat pada penurunan kualitas biodiversitas dan menjadi salah satu faktor penyebab kepunahan dari suatu jenis mahluk hidup di suatu daerah atau ekosistem.
Penelitian tentang IAS di KRC didasari oleh dua tujuan utama. Pertama adalah untuk meminimalisir dan menekan dampak negatif IAS, yang dalam konteks KRC dilakukan dengan cara memprediksi potensi invasive dari koleksi eksotik KRC. Kedua adalah upaya dalam mengelola jenis-jenis eksotik yang dianggap sudah bersifat invasive baik itu melalui pemanfaatan terbatas dari tumbuhan eksotik tersebut sesuai dengan tujuan awal introduksinya, maupun melalui opsi pengelolaan lainnya.
Dalam bagian kedua pembahasan tentang IAS, dipaparkan tahapan proses suatu jenis tumbuhan eksotik menjadi invasive. Tahapannya dimulai dari datangnya suatu tumbuhan eksotik ke suatu habitat baru (Introduksi), proses adaptasi agar bisa hidup di lingkungan baru (Naturalisasi), proses menghasilkan individu baru dan menyebar ke lokasi baru yang tidak jauh maupun jauh (Kolonisasi) dan sampai kepada proses tumbuh lebih banyak dan mendominasi mengalahkan jenis-jenis tumbuhan lain di habitat baru tersebut (Invasi).
Faktor lingkungan dan karakter biologis seperti iklim, cahaya, kondisi air, laju tumbuh, kemampuan reproduksi baik secara vegetatif maupun generatif, media penyebaran dan kandungan alelopati/alelokimia serta tidak adanya musuh alami ternyata ditengarai dapat mempengaruhi proses invasi.
Sebagai pengingat juga, dalam paparan bahasan IAS bagian pertama dan kedua sebelumnya, nara sumber memberikan contoh tumbuhan eksotik bersifat invasive yaitu: eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang memenuhi sungai dan rawa di Indonesia. Sedangkan untuk kasus di KRC tumbuhan eksotik yang bersifat invasif yaitu: bambu kirisik (Chimonobambusa quadrangularis), yang awalnya ditanam sebagai pagar pembatas perbatasan wilayah dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), namun saat ini populasinya ternyata sudah meluas hingga ke dalam kawasan TNGGP.
Demikian bahasan IAS bagian ketiga ini, semoga informasi yang disampaikan dapat menambah pengetahuan dan memiliki nilai manfaat untuk kita semua. (Fitri Kurniawati, M.IL.)
Editor: Decky Indrawan Junaedi, Ph.D