
Sahabat Kebun Raya Cibodas ternyata di akhir abad 19 Indonesia sangat terkenal sebagai penghasil kina, lho. Hampir lebih dari 90% produksi kina dunia dikuasai Indonesia.
Kina merupakan obat malaria yang dikenalkan ke benua Eropa pada periode tahun 1620-1630. Penemuan obat malaria tersebut dianggap tepat waktu untuk kerajaan-kerajan di Eropa. Saat itu, mereka sedang ekspansi ke bagian dunia yang dilanda malaria sehingga membutuhkan obat malaria tersebut.
Kina pun menjadi tanaman obat yang bernilai ekonomi tinggi. Kerajaan-kerajaan di Eropa mulai berlomba untuk mendapatkan tanaman kina dari Amerika Selatan (Bolivia dan Peru). Akhirnya komoditas kina dimonopoli oleh Bolivia dan Peru sebagai bentuk perlindungan terhadap keberadaan kina di negara asalnya.
Menurut literatur Batavia di tahun 1714 dikenal dengan julukan “Kuburannya Negeri Timur”. Hal ini disebabkan oleh wabah malaria yang telah membunuh hampir 80.000 jiwa orang eropa yang tinggal di Batavia. Keadaan tersebut mendorong CH. F. Pahud, Menteri Jajahan Seberang Lautan Hindia, membuat proyek besar-besaran untuk menangani wabah malaria di Batavia.
Kina pertama yang sampai di Pulau Jawa adalah jenis Cinchona calisaya. Seorang pengawas Kebun Raya bernama J.F. Teysmann berhasil mengambil kina dan menanamnya di Kebun pegunungan Cibodas (Kebun Raya Cibodas). Pohon tersebut merupakan pohon kina pertama yang tumbuh di luar Amerika Selatan. Waktu penanaman kina tersebut akhirnya diabadikan sebagai tonggak berdirinya Kebun Raya Cibodas, 11 April 1852.
Tahun 1852, C.F. Pahud menugaskan Justs K. Hasskarl (mantan Direktur Kebun Raya Bogor) untuk mencari bibit kina dari Bolivia. Hasskarl berhasil membawa kina ke Batavia pada tahun 1854. Kina di negara asalnya merupakan tanaman yang sangat dihargai dan dilindungi, sehingga untuk mendapatkan benih atau bibit kina memerlukan upaya dan perjuangan khusus. Bahkan pengiriman kina dilakukan Hasskarl dengan dikawal kapal perang Belanda. Waktu tempuh yang lama menyebabkan bibit-bibit layu saat sampai di Batavia. Hanya sekitar 70 bibit C.calisaya yang masih hidup baik. Bibit kemudian dibawa ke kebun pegunungan Cibodas, dan ada juga yang Hasskarl tanam di lereng gunung Malabar, Cinyiruan (Pangalengan).
Tugas pembudidayaan kina selanjutnya dilanjutkan oleh Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis Jerman yang bekerja untuk Kolonial Belanda. Tahun 1855 F.W. Junghuhn sampai di Pulau Jawa dengan membawa 139 tanaman asal biji yang berasal dari Belanda,
Lokasi Kebun Pegunungan Cibodas dianggap Junghuhn kurang cocok untuk kina. Lokasi yang cocok menurut Junghuhn adalah di Cinyiruan, Pangalengan. Maka pembudidayaan kina selanjutnya dipindahkan dari Cibodas ke Pangalengan. Mulailah berkambang perkebunan kina di Pulau Jawa hingga ke wilayah Bandung Utara (Lembang dan Subang).
Sebelum tahun 1865 kina di Indonesia didominasi C. Calisaya var javanica yang mengandung kadar kinina rendah. Cinchona ledgeriana masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1865, jenis kina ini memiliki kandungan kadar kinina tinggi dan menjadi awal sejarah penting bagi perkebunan kina Indonesia.
Seleksi tanaman kina terus berkembang hingga menghasilkan klon tanaman kina unggul. Menjelang perang dunia kedua Indonesia memiliki 107 unit kebun kina dengan luas kebun hingga 18.000 ha. Produksi kina saat itu berkisar 11.000-12 000 ton kulit kering. Dari jumlah tersebut sekitar 4.000 ton diolah langsung di pabrik kina (Bandoengsche Kinine Fabriek N.V) dan sisanya langsung diekspor ke luar negeri.
Sahabat Kebun Raya Cibodas, ternyata kina yang rasanya sangat pahit dan telah mengantarkan para pebisnis tanaman kina zaman tersebut mencicipi manisnya berbisnis kina. Bahkan saat ini, kina dianggap memiliki potensi sebagai obat untuk penanggulangan Covid-19. Hal ini bermula dari informasi hasil penelitian di China yangmenyatakan bahwa klorokuin (senyawa aktif kina) berhasil menyembuhkan 100 pasien corona di Wuhan. Menarik sekali pengetahuan tentang potensi kina ini, ya Sahabat. Artikel ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Malaria Sedunia, 25 April 2021. (Fitri Kurniawati, Anggun Ratana G. Heri Syahrian)
Referensi:
Tom Cassauwers. 2015. The global history of quinine, the world?s first anti-malaria drug. https://medium.com/@tcassauwers/the-global-history-of-the-world-s-first-anti-malaria-drug-d1e11f0ba729
M.F. Mukhti. 2020. Dari Malaria Hingga Corona. https://historia.id/sains/articles/dari-malaria-hingga-corona-vV9ok/page/4.
Bembeng Je Susilo. 2011. Kina, Riwayatmu Dulu dan Kini.https://www.kompasiana.com/bambangjes/5508f1d78133117f1cb1e152/kina-riwayatmu-dulu-dan-kini.