Menyelisik Buah Biwa (Eriobotrya japonica (Thunb.) Lindl.), “Anggur Berastagi” di Tanah Batak

Horas! Tak ada yang menyangsikan keindahan alam di kawasan Danau Toba. Begitu banyak kekayaan budaya yang patut dikembangkan dan menjadi ikon pariwisata daerah tersebut. Tarian tor-tor, kain ulos dan Si Gale-gale telah banyak dikenal oleh masyarakat luas. Kekayaan lain yang dimiliki oleh tanah batak adalah tumbuhan Biwa (Eriobotrya japonica (Thunb.) Lindl.) dengan potensi ekonomi yang cukup tinggi. Biwa merupakan tanaman buah yang telah lama dikenal dan dikonsumsi oleh warga keturunan Tiongkok. Buah ini memiliki nilai gizi tinggi, dan mengandung senyawa amygdalin yang dikenal sebagai anti kanker. Selain itu, daun Biwa digunakan untuk pengobatan tradisional masyarakat Tiongkok bagi sistem pernapasan dan pencernaan.

Informasi mengenai tumbuhan Biwa ini belum banyak tercatat di Indonesia, akan tetapi masyarakat di dataran tinggi Sumatera Utara telah banyak mengenal dan membudidayakannya. Dalam Program IBSAP Tahun 2018, Tim Eksplorasi BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI menyelisik keberadaan buah Biwa di kawasan Toba, Sumatera Utara selama 10 hari pada tanggal 19-28 Maret 2018. Dengan diketuai Lily Ismaini, tim melakukan inventarisasi dan seleksi tanaman Biwa di 5 Kabupaten yang mengelilingi perairan Toba, yakni Samosir, Tobasa, Simalungun, Dairi dan Karo. Bersama peneliti BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI lain, Suluh Normasiwi, serta 3 orang teknisi kebun, yakni Rahmat, Mulyadin dan Cecep Hermawan, tim berhasil mengoleksi 57 nomor koleksi tanaman Biwa. Koleksi terdiri dari 52 nomor stek pucuk, 52 nomor stek batang, 52 nomor daun untuk uji molekuler, 52 nomor pucuk daun untuk kultur in vitro, 8 nomor anakan, 39 nomor buah dan 5 nomor herbarium.

Kegiatan survei meliputi habitat, budidaya dan perbanyakan Biwa di lima kabupaten kawasan Toba. Tanaman Biwa banyak ditanam pribadi sebagai tanaman pekarangan serta tanaman peneduh. Belum ada budidaya khusus dan penanganan yang memadai, sebagian besar buahnya dikonsumsi sendiri oleh masyarakat. Sementara itu, Kabupaten Karo menjadi lokasi sebaran Biwa yang terbesar. UPTD Benih Induk Hortikultura, Kutagadung, Taman Simalem Resort, Merek dan Kebun Percobaan Balitsa, Tongkoh merupakan lembaga yang melakukan budidaya Eriobotrya japonica ini. “Di Kebun Raya Cibodas sendiri telah dikoleksi jenis Eriobotrya japonica. Kami juga telah melakukan perbanyakan Biwa atau Loquat melalui biji dan kultur in vitro untuk menambah jumlah koleksi kebun”, kata Lily Ismaini.

Berdasarkan hasil survei di kawasan Gundaling, Berastagi, terdapat tiga jenis Biwa berbeda yang ditanam oleh masyarakat. Yang pertama, biwa dengan bentuk buah bulat dan berbiji banyak (>1) dengan rasa manis tanpa asam dan memilik tajuk tegak. Yang kedua, adalah biwa buah lonjong (oval) dengan rasa manis dan tajuk mendatar (horisontal). Dan yang ketiga adalah Biwa dengan bentuk buah oval kecil berwarna kuning dengan rasa asam manis dan memiliki tajuk tegak. Suluh Normasiwi menjelaskan lebih lanjut, “Akan dilakukan uji molekular dari beberapa daun Biwa yang telah dikoleksi. Hal ini untuk memperkuat justifikasi mengenai jenis dari beberapa variasi buah Biwa di kawasan Toba melalui identifikasi molekular”.

Biwa telah menjadi tanaman buah keseharian masyarakat di Berastagi. “Anggur Karo” ini berbuah sepanjang tahun, dengan panen raya sekitar bulan Oktober hingga Februari. Banyak masyarakat yang menjual hasil panen Biwa, meskipun tidak menjadikan bertani Biwa sebagai mata pencaharian utama. Buah Biwa memiliki nilai ekonomis tinggi, harga buah Biwa di pasar buah Berastagi berkisar antara Rp. 20.000,- hingga Rp. 40.000,- sehingga potensial dikembangkan dan dikemas dengan apik untuk dapat dinikmati konsumen pasar. Kegiatan budidaya dan pengembangan buah Biwa yang dilakukan BKT Kebun Raya Cibodas memiliki prospek yang tinggi dalam mendukung penguatan ketahan pangan dan ekonomi mikro di kawasan Toba. (IQL)

Penulis: Intani Quarta Lailaty

Menyelisik Buah Biwa (Eriobotrya japonica (Thunb.) Lindl.), “Anggur Berastagi” di Tanah Batak
Tag pada: